Liputan6.com, Jakarta Industri musik Indonesia adalah ladang talenta yang tak pernah kering. Setiap hari, musisi-musisi baru bermunculan, siap meramaikan panggung dan layar. Namun, di balik potensi yang luar biasa, kita tak jarang disuguhkan pemandangan yang memprihatinkan: konflik antar sesama pelaku industri, terutama para senior, yang menguras energi dan mengalihkan fokus dari esensi berkarya. Mengapa ini terus terjadi? Bukan sekadar urusan pribadi, persoalan ini menunjuk pada satu akar masalah fundamental: tata kelola industri musik yang belum pada tempatnya.
Selama ini, kita melihat Kementerian Hukum (Kemenkum) seolah memegang kendali utama dalam regulasi industri musik. Hal ini lumrah, mengingat hak cipta adalah pondasi hukum bagi setiap karya musik, dan urusan kekayaan intelektual memang berada di bawah payung Kemenkum. Mereka bertanggung jawab merumuskan undang-undang dan mengawasi lembaga-lembaga kolektif yang mengurus royalti. Peran Kemenkum sangat vital sebagai penjaga kompas hukum, memastikan perlindungan atas kreasi dan penegakan aturan main. Namun, fokus Kemenkum secara inheren adalah pada aspek legalitas dan kepatuhan, bukan pada dinamika pengembangan ekonomi, ekosistem bisnis, atau promosi industri secara holistik.
Tidak ada komentar